“Loh...loh...loh...tumben pulang sekolah langsung minta bikin kue, “ sahut saya keheranan.
“Hmmm sebenarnya sih teman-teman sekelas yang mau buat kue, begini ceritanya,” jelas Kaysan dan mengalirlah cerita panjang lebar dari mulutnya.
Insiden Bu Guru marah
Ternyata ada insiden di kelasnya pada hari tsb. Kaysan menjelaskan bahwa Bu Guru Sofi marah karena anak-anak berisik, nggak mau dengar, dan sibuk main sendiri. Lalu beliau ngambek dan meninggalkan kelas.
Selama ini saya mendengar Bu Guru kelas 3 sangat sabar dengan anak-anak dan punya banyak cara untuk menarik perhatian anak-anak. Bila sampai meninggalkan kelas, tentu anak-anak benar-benar menguji kesabarannya hari ini.
Kaysan lebih lanjut menjelaskan kalau semua teman-teman merasa bersalah. Lalu Alif dan Dila usul untuk beli kue buat Bu Guru, supaya Bu Guru baik lagi. Tapi Kaysan usul supaya bikin saja kuenya sama Tante Tia (adik saya yang tinggal serumah). Teman-teman setuju dan sepakat untuk patungan untuk beli bahannya.
Setelah mendengar lengkap ceritanya dan Kaysan lapor ke Tante Tia, maka Tia dan saya sepakat untuk membantu asalkan anak-anak sendiri yang membuat kuenya besok siang. Besok siang bertepatan dengan hari Jum'at, yang memang jadwal rutin kegiatan JURASIK di GARASI tiap pukul 13:30-16:00 WIB.
“Ibu, tapi jangan bilang-bilang Bu Guru ya, ini suprise,” pesan Kaysan.
“Ibu, ini uangnya, ada 60 ribu, semua ikut patungan,” teriak Kaysan sepulang sekolah keesokan harinya, sambil menyerahkan gulungan tebal uang hasil patungan teman-teman sekelas.
“Kata teman-teman ibu tolong beliin dulu bahannya, nanti siang teman-teman datang. Kalau kurang tolong tambahin ya bu,” rayunya.
Tia dan saya pun menggali lebih lanjut dari Kaysan jenis kue apa yang anak-anak inginkan. Ternyata mereka membayangkan rainbow cake atau tart sejenisnya, dengan hiasan yang cantik. Wah luar biasa sayangnya anak-anak dengan Bu Guru yang baik hati.
Terbayang repotnya buat kue sesuai keinginan anak-anak. Bisa ditebaik ujung-ujungnya bakal Tia dan saya yang paling besar andil bikinnya. Setelah rembukan, Tia dan saya sepakat untuk mengarahkan anak-anak bikin chocolate cookies saja. Cara membuatnya mudah dan semua bisa terlibat dalam prosesnya.
Memutuskan kue yang dimasak
Waktu baru menunjukkan pukul 13:00 WIB, tapi sudah ada 4 anak yang datang. Mereka menikmati bekal makan siangnya, sambil menunggu teman lain berdatangan.
Awalnya saya tak yakin bakal lebih banyak anak yang datang, karena langit tampak diliput mendung tebal. Ternyata mendung tak menyurutkan semangat anak-anak. Beberapa rombongan kecil kembali berdatangan. Hingga total ada 14 anak yang datang siang tsb.
Saat sudah ada sekitar 8 anak, saya mulai mengumpulkan anak-anak untuk berembug kue apa yang ingin dibuat. Walaupun saya sudah punya pertimbangan, tapi saya berharap keputusan bukan di tangan saya.
Saya awali diskusi dengan pertanyaan, “Kira-kira Bu Guru akan senang dengan kue yang dibeli, dibuat sama Tante Tia, atau yang dibuat anak-anak sendiri?”
“Dibuat anak-anak,” jawab mereka serempak. Setelah itu baru saya tawarkan untuk membuat chocolate cookies.
“Tapi bu, kami kan pengen ada hiasannya, ada bentuk hati-hati nya,” ujar anak-anak ketika saya mengusulkan chocolate cookies.
“Bagaimana kalau kotak kuenya yang kita hias dan kita buatkan Bu Guru kartu dengan bentuk hati?” usul saya.
“Lagipula ini kan kejutan, kalau Bu Guru ternyata nggak masuk di hari sabtu, kalau chocolate cookies bisa mudah disimpan sampai senin," tambah saya, berusaha meyakinkan.
Setelah mendengar masukan-masukan tersebut dan yakin kuenya akan terlihat menarik, anak-anak sepakat membuat chocolate cookies.
Proses memasak dimulai dari belanja bahan. Anak-anak yang datang lebih awal dapat kesempatan ikut belanja ke hypermart di seberang GARASI. Sementara sebagian yang tinggal di GARASI mulai menyiapkan alat-alat serta belajar memakai gelas ukur dan sendok ukur bersama Tia.
Anak-anak praktis melakukan sendiri semua proses. Tiap anak kebagian mencetak cookiesnya. Selama proses belanja dan memasak kami terus berdialog dengan anak-anak, sehingga tanpa terasa mereka sebenarnya sedang belajar matematika.
Anak-anak kami bagi 2 kelompok dalam memasak, supaya tidak terlalu penuh sesak di dapur. Sementara sebagian di dapur, yang lain menunggu giliran sambil membuat kartu permintaan maaf untuk Bu Guru di ruang baca. Anak-anak memotong karton warna-warni menjadi bentuk hati ukuran sekitar 5 cm. Kartu-kartu hati kecil tersebut kemudian ditempel sebagai daun, membentuk kolase pohon, di atas sebuah impraboard ukuran 30 x 50 cm yang dilapisi sehelai kertas samson. Anak-anak yang datang menuliskan pesan kepada Bu Guru di atas kartu hati yang dibuatnya. Anak-anak tsb juga membuatkan kartu hati bertuliskan nama temannya yang berhalangan datang. Ada 39 kartu hati totalnya, mewakili jumlah anak-anak di kelas 3. Anak-anak tidak mengijinkan saya membaca isi pesan yang mereka tulis. Tapi saya sempat mengintip beberapa kartu yang ditulis anak-anak. Wuih...kalau saya jadi gurunya, dijamin meleleh :-D Begitu melihat bentuk akhir kartu, Fifi, salah seorang anak, mendadak berseru, "Bu, aku tahu ini namanya pohon apa, pohon cinta." Ha3...puitis sekali anak ini. Anak-anak baru pulang setelah kue dan kartu rampung, sekitar pukul 17:00 WIB. Semua menyempatkan diri berpose bersama kue dan kartu yang dibuat sebelum pulang. Langit terlihat begitu gelap, sehingga kue dan kartu ditinggal di GARASI karena anak-anak khawatir terjebak hujan. Selang 30 menit hujan turun luar biasa derasnya dan halilintar sambar menyambar. Alhamdulillah dari balasan sms yang saya kirim, saya dapat kabar semua anak sampai ke rumah sebelum hujan turun. |
Pagi-pagi sekali keesokan harinya, saya datang ke sekolah mengantarkan kue dan kartu yang dibuat anak-anak. Di gerbang saya sudah disambut gerombolan anak-anak kelas 3. Beberapa anak yang kemarin tak datang juga tampak. “Terima kasih ya bu,” ujar beberapa di antaranya.
Saya tak lama di sekolah, walaupun sebenarnya penasaran pengen intip momen pas anak-anak kasih kue dan kartunya ke Bu Guru. Apalagi setelah mengintip tulisan di kartu anak-anak yang luar biasa manisnya.
Di waktu istirahat, sekitar pukul 08:30 WIB, saya balik lagi ke sekolah karena ada keperluan dengan Kaysan. Ternyata anak-anak masih di dalam kelas, sedang memberikan kue ke Bu Guru. Saya tak bisa melihat ataupun mendengar apa yang terjadi di balik pintu yang tertutup rapat.
Saya hanya menyaksikan wajah-wajah sumringah keluar dari kelas. Begitu melihat saya ada di balik pintu, beberapa langsung mengabarkan dengan berteriak “berhasillllll....bu.”
Saya sempat ngobrol singkat dengan Bu Guru. Beliau luar biasa terharu sampai tak bisa berkata-kata. Sebenarnya beliau hanya berharap anak-anak minta maaf, eh ternyata dapat kejutan di luar dugaan.
Mentor bagi anak-anak
Kehormatan luar biasa bisa dipercaya anak-anak untuk terlibat di permufakatan yang menyenangkan ini. Barangkali cuma perasaan saya saja yang berlebihan. Tapi tak henti saya kagum dengan kehebatan anak-anak tsb. Untuk keberaniannya mengakui kesalahan, penuh inisiatif, serta kemampuan merealisasikan ide, dan bekerjasama. Praktis orang dewasa di sini hanya berperan sebagai mentor atau fasilitator
Bila mengingat masa ketika kegiatan JURASIK baru di mulai. Dengan penuh semangat kegiatan pada pertemuan-pertemuan awal dirancang secara detail dengan target tinggi. Tapi justru para fasilitator frustasi sendiri karena kegiatan tidak berjalan semulus yang diharapkan. Anak-anak sibuk sendiri atau berseteru dengan temannya, benar-benar menguras fisik dan kesabaran fasilitator.
Akhirnya target diturunkan serendah-rendahnya, yang penting anak mau mendengar instruksi dengan baik. Sementara fasilitator berusaha komitmen dan konsisten menjalankan program secara rutin tiap minggu. Tak terasa sudah 2,5 tahun program berjalan. Kegiatan dibiarkan mengalir, sebisa mungkin disesuaikan dengan ketertarikan anak. Kami bersenang-senang bersama sambil tak bosan-bosannya merefleksikan nilai-nilai luhur dalam tiap kesempatan/momen yang terjadi.
Kejadian ini menyadarkan saya bahwa dengan komitmen dan konsisten berkegiatan bersama, kami para fasilitator ternyata tengah membangun kepercayaan dan kedekatan dengan anak-anak. Ketika ada persoalan, maka mereka merasa memiliki orang dewasa yang bisa dijadikan tempat mengadu dan meminta bantuan.
Lewat respon orang dewasa yang bisa bersikap sebagai mentor/fasilitator, maka sebuah insiden justru dapat menjadi media pembelajaran yang berharga untuk memperkuat karakter anak-anak. Lewat kejadian ini saya juga semakin yakin pada hakikatnya anak-anak punya potensi positif luar biasa yang perlu terus diasah dan dikembangkan.
Selain itu juga menambah motivasi untuk tidak berharap memetik hasil secara instan. Untuk yang terakhir ini walaupun sudah tahu, tapi tetap saja tanpa sadar seringkali terdorong ingin cepat lihat hasil :-).
Oleh: Shanty Syahril (Fasilitator Jurasik dan orangtua dari Kaysan, peserta Jurasik)